Dimanakah Dia?

       Tiba saat ku kembali membuka mata. Pagi datang lagi. Kumemandang lurus keatap kamarku. Aku harus duduk, berdiri, ataukah tetap di posisiku kembali memejamkan mata? Begitu perdebatan tiap pagi. Mungkin tak ada salahnya kembali menarik selimut. Kiranya satu dua atau lima menit cukup untuk pemulihan dari tidur. Sampai sebelum,.. "Le! bangun! ayo sekolah". Alarm alamiku tiap pagi, Ibuku. Kalau sudah begitu tandanya aku harus menumpuk semangat untuk bangun. Daripada Ibu datang ke kamar dan berceramah lebih panjang. "Le! ayo kok. Tiap pagi kok kaya ngene. Kamu iku wes besar. Cah lanang kok males-malesan! Piye nanti kalau sudah waktunya kerja, belum lagi nanti menikah. masa istrimu suruh obrak-abrik kaya Ibu tiap pagi. Le! mana ngga pernah sholat subuh. kalau sholat subuhmu bolong sholatmu yang lain jadi ikut males!". Atau lebih panjang lagi. "heem bu". Mataku seolah melekat satu sama lain, berontak untuk dibuka. Kurubah posisiku tengkurap, lalu kuturunkan kaku kananku ke lantai. Dingin sekali!. Disusul kaki kiri dan separuh badanku. Kini posisi badanku duduk bersandar di tepi ranjang. 'Mana ngga pernah sholat subuh' terngiang kalimat yang selalu tak pernah absen diucapkan diantara kalimat Ibu saat membangunkanku. Aku menggosok mata dengan tangan kiriku. Untuk apa sholat?

       Setelah semua urusan sidang di pagi hari yang menyebalkan telah usai, "berangkat dulu bu". Kucium tangan pengacara hidupku yang luar biasa ini lalu pergi menunggang kuda besiku. Saatnya menari dijalanan. Semua jenis manusia juga sibuk berlalu-lalang di pagi ini. Alhasil semua tumpah di jalanan dan membuat sesak pandanganku. Untuk beberapa saat berhenti aku menyalakan satu batang penghidupan.. fiuuh. kutiup asap ke langit. Agar sekalian bercampur dengan polusi sajalah. Sambil maju beberapa meter, kulirik jam di tangan kananku. 5 menit lagi jam masuk kelas. Biarlah aku hanya butuh 3 menit untuk sampai ke sekolahku. Sementara klakson terus bersautan. Apalah orang-orang ini, sudah tahu macet masih teriak teriak. Lantas mau menyalahkan siapa?. "Ya Tuhan.. ayo tolong aku.. semoga ngga telat.. semoga ngga telat". Ada seorang perempuan--yang sepertinya pekerja kantoran--bergumam disebelahku. Makin aneh saja manusia ini. Mana bisa Tuhan menolong disaat macet. Bagaimana caranya?.. tuiiiiin.. klakson panjang dibelakangku. Gara-gara memikirkan itu aku tak sadar harus jalan.

       Aku tiba ketika gerbang sekolah mulai ditutup. "heey pak selamat pagi!". Sapaku singkat pada pak satpam. "eh hampir telat mas. hampir". Ku parkir kudaku lalu jalan masuk kelas. Bangku guru masih kosong. Semua penghuni kelas juga belum ada yang menempatuposisi biasanya. Mereka sibuk bersosialisasi.
Baru saja aku duduk, pak guru datang. hmm.. pelajaran agama. Sebaiknya aku pindah dudukpaling belakang dan tidur. Aku tak pernah paham apa yang mereka bicarakan. Utamanya soal.. Tuhan. Pak guru mulai bicara. Aku membenarkan posisi dudukku agar tak terlihat. Aku mulai menenggelamkan kepala diantara kedua tangan yang menyilang di meja. Entah tiba-tiba saja terfikir, aku seolah mendoktrin diriku menjadi--yang orang bilang--atheis. Aku tak pernah percaya Tuhan. Dari kecil, Ibuku dan semua guruku mengajarkanku untuk menyembah Tuhan. Tapi sampai sekarang, sampai aku menginjak bangku SMA, aku tak tahu bagaimana rupa yang kusembah. Dimanakah Dia? Aku hanya butuh penjelasan pasti apa itu Tuhan dan mengapa aku harus percaya.

       Jam istirahat telah di depan mata. Begitu guru keluar, aku langsung berjalan membuntuti dan lalu berbelok ke kantin. "Soto sama es jeruk bu". Aku menunggu pesanan sambil mengobrol dan bercanda dengan beberapa kawan. "ini mas. oh ya.. ibuk titip warungsebentar mau sholat dhuhur dulu. Nanti kalau ada yang beli uangnya masukin kaleng ya mas". Bagaimana ibu kantin bisa meninggalkan warungnya untuk 'menyembah Tuhan'? Bagaimana kalo yang dititipi tak jujur? Apa ia tak takut rugi?.. "ah iya buk monggo". singkat saja jawabku.
Beberapa menit setelah ia kembali aku telah menyelesaikan makan siangku. Aku memberanikan diri menghapus rasa penasaranku dengan bertanya. "buk.. kok ibuk milih ninggal warung buat cuma sholat sih? Kenapa ngga nanti aja kalau udah sepi warungnya? Nanti kalau ada yang mencuri apa ibuk ngga takut?". Huh pertanyaan bodoh yang menyeramkan. "kan sudah ibuk titipkan mas. oh ya matur suwun loh mas". kedua tangannyasibuk merapikan dagangan. "lagian mas, sholat lebih penting. Ibuk rela rugi berapa ribu buat sholat. Tuhan emang ngga terlihat, tapi Dia bisa lihat". Jawaban Ibu kantin seolah menampar pipiku. Tapi maaih belum jelas. Hanya sebuah tamparan bukan pukulan.

       Bel pulang sudah berderu. Tanpa pikir rumit pergi main aku langsung pulang saja. Lagipula langit terlihat tak bersahabat. Aku mempercepat laju kuda besiku. Sebelum jam 3 sore aku sudah harus sampai rumah. Sialnya benar terjadi, hujan turun deras di tengah perjalanan. Jas hujan lupa kubawa. Mau tak mau harus berteduh atau basah kuyup. Hanya ada mushola kecil beberapa meter kedepan yang bisa kujadikan tempat singgah. Ya, mau bagaimana lagi.
Aku lalu bertemu bapak penjaga Musholla. "Monggo mas, sekalian ikut jamaah". waktu sudah menginjak ashar memang. "Iya pak". aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Tapi aku tak beranjak dari dudukku sampai mereka selesai sholat. Bapak tadi lalu menghampiriku. Kukira ia akan memarahi atau menceramahiku, ternyata ia hanya membukasebuah obrolan. "Rumahnya dimana mas?". -"Perumahan depan sana pak". Aku menunjuk arah perumahanku yang sebenarnya sudah tak terlalu jauh. Bapak tadi mengangguk-angguk lalu menengadah air hujan. "Hujan.. wujudnya bisa dirasa, tapi kita takpernah berfikir asalnya darimana. hanya langit". Dadaku bergetar mendengar kalimat sederhana itu. Mulutku seolah kaku tak bisa membalasnya. "Sama seperti menyembah Gusti. Tuhan. Kita percaya dan menjalaninya tanpa perlu tahu Tuhan ada di sebelah mana. hanya diatas". Bapak itu bagaikan malaikat yang bisa membaca isi otakku. Ia menjelaskan yang kutanyakan tanpa perlu ku bicara. "Sudah agak reda.. duluan ya mas". -"oh.. i.. iya pak mari". Aku masih sulit berucap. Bapak itu pergi menerobos rintik hujan.
Rasanya setengah tak sadar akan apa yang baru saja kudengar. Aku melanjutkan perjalananpulang sambil terus berusaha mencerna ucapan ibu kantin dan bapak penjaga musholla. Tuhan dan percaya. Mereka menyembah karna percaya. Lalu apa yang mendasari mereka untuk percaya? Aku tak sabar ingin bertanya pada Ibuku.

       Sampai dirumah kuparkirkan tungganganku lalu melempar badanku terlentang di sofa ruang tamu. "Kehujanan ya le?" Teriakan ibu dari dalam. Aku tak menjawab pertanyaan ibu dan mengalihkan ke pembicaraan lain. "Bu.. kenapa kita harus percaya Tuhan?". Ibu menghampiriku dan hanya tersenyum dengan sedikit melbarkan mata dan memicingkan alis. "Minum dulu le kopinya". Ibu memberiku secangkir kopi tanpa menjawab pertanyaanku. Aku meminumnya.. "ah panas bu". -"Ibu suruh minum, kamu minum tapi nggamikir kopi iku panas, manis, apa pait". Ibu menjawab dengan santai.
"Le, kalau semisal ibu pas ngga ada dirumah, kamu ibu suruh mandi atau makan, dilakuin ngga?". -"Yaiyalah bu. Itukan sudah kewajiban dan kebutuhan". Aku semakin bingung maksud pembicaraan ibu. Tapi rupanya ini menyangkut pertanyaanku. "Jadi walau Ibu nggaada didepanmu, kamu percaya sama ibu?". -"Percaya lah bu". Ibu lalu duduk di sebelahku dan memijat-mijat lengan kananku. "Percaya itu ngga ada wujudnya le. Bisa dirasa tanpa bisa dilihat. Kopi itu panas, apa bisa dilihat panasnya? Kamu percaya sama Ibukarena kamu tahu Ibu ada. Semuanya sama aja le. Sama kaya percaya Tuhan. Tuhan mana bisa dilihat, tapi kuasanya bisa dirasa. Kehujanan, kepanasan, pagi siang malam. Siapa yang berbuat kalau bukan Tuhan? Tandanya Tuhan ada. Dan kamu harus percaya, karena kamu sudah tau Dia ada.."

       Percakapan sore itu seolah membangunkanku. Apa yang kutemui sebelumnya juga seakan mencubitiku. Aku berdiam menghela napas panjang. Aku mendapat pelajaran bukan dari sekolah, tapi dunia. Sekarang sudah tahu. Jadi kau masih tak percaya Tuhan ada dimana?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja Raya Redam

Ujung Jalan

Untuk para Domba