Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Sebelum Kita Pulang

Sebelum kita pulang, Mari membuka mata Untuk apa yang seharusnya kita rasa Sebelum kita pulang, Adakala untuk sejenak berhenti Mengulas kembali lembaran yang telah terisi Sebelum kita pulang, Ingatlah semua lara Tanpanya, tak akan ada cerita bahagia Sebelum kita pulang, Kembalikan serpihan janji Agar kita berjalan tanpa terbebani Sebelum kita pulang, Genggam erat lagi berjuta cita Pastikan dunia berucap bangga Dan sebelum kita pulang, Mari kita menepi Jangan ada kata 'sampai jumpa lagi'..

Batin

       Gelap.. sepi.. dingin.. dan aku sendiri. Bukankah seharusnya aku menyukainya? Menyukai kesempatan itu. Tapi kali ini tidak. Aku ketakutan.        Hanya tersisa ragaku disana. Batinku sudah melayang jauh mencari peraduan. Semua yang aku takutkan adalah aku tak bisa melihatnya lagi. Aku, seorang pengandai dan pemimpi, dan yang terburuk, pengagum. Kisah macam apa yang patut dibanggakan dari seorang pengagum? Tidak ada. Aku hanya akan selalu menyendiri, mencari tempat sepi, menunggang khayalan tingkat tinggi, seperti itu. Setiap ingat bahwa aku (masih) menjadi penggemar setianya. Semua tahu itu bukan waktu yang sebentar. Semua mengingatkan untuk menghindar. Tapi dimanakah tempat untuk memenjarakan perasaan?        Kali ini gelap yang kutemui sangatlah menyeramkan. Aku ingin lari, tapi aku harus berhenti. Lari tak akan menghapuskannya. Namun, berhenti mungkin mempu meredam. Aku harus memaksakan otakku memutar ulang semua memory selama bersamanya. Aku harus rela kesakitan menah

Ironi Saat Ini

       Saat ini kamu sudah pecah. Pecah karena seseorang itu tak berhasil menjagamu dengan baik. Yaa semua tahu ada kemungkinan kamu bisa direkatkan lagi satu per satu. Tapi siapa yang tahu pecahan-pecahan kecilmu tersebar ke sudut mana. Ke bawah  ranjang yang gelap, ke sudut almari, atau bahkan mungkin terbawa debu lain saat ibu menyapu. Mereka tak bisa melihat kamu ada di sebelah mana sekarang. Bagian yang sangat kecil itu mungkin tidak berharga sama sekali, tapi kamu tetap akan berbeda tanpa bagian itu. Kamu bukan lagi kamu yang dulu ataupun sekarang. Kamu akan berubah menjadi wajah baru. Benar benar baru.        Lalu bagaimana seseorang itu nanti menemuimu? Bayangkan saja dia datang dengan senyumnya yang selalu ia ciptakan itu. Dia tak akan lagi menanyakan 'bagaimana harimu' karena sekian jarak ini. Dia akan mengubahnya dengan 'apa kabar?'. Itupun jika dia masih mengingat wajahmu dengan pasti. Nun kenyataan wajahmu telah berbeda. Lalu apa yang perlu kamu perbuat?

Sebuah Suara

Datanglah ia sebuah suara Ia menggigil dalam dingin malam Ia memanggil disela kelam Suara itu tersebar Di balik jendela kamar Di ruas bahu jalanan Menanti siapa yang sanggup sendiri Suara ia tak pernah jauh Ada diantara tangismu Menyelimuti lamunanmu Setia menunggu bahagia Sebuah suara tak butuh sanjung mereka Harap sederhana, Seseorang tanpa jera mendengarnya Tanpa jarak yang bermakna Kapan gelap itu tiba Suara, Ia kan ada disana Karena ia tak punya mata Hanya hati untuk merasa Dan mulut untuk bercerita Malam itu, untukmu, dan siapa saja yang harusnya tahu menjadi aku..

Ini-Bukan-Film

Gambar
Image: Forsquare                   Pada malam itu, kamu pulang dari sebuah pertemuan singkat dengan seseorang. Kamu berjalan di pinggiran jalan raya menunggu angkutan umum yang akan mengantarkanmu ke rumah. Masih belum larut. Sekali dua kali kamu melihat telepon genggammu, waktu masih tertulis 18:57. Masih belum terlalu pantas disebut malam, masih mungkin juga adanya angkutan umum yang beroperasi. Kamu sabar menunggu..        Lalu ada seseorang dengan motornya berhenti di depan mu, menawarkan tumpangan. Kamu sadar rumahmu yang lebih jauh darinya mengartikan bahwa itu bukanlah sebuah tumpangan, ia bersedia mengantarmu pulang. Tanpa berpikir panjang kamu menyetujuinya. Ya, kamu mengenalnya. Seseorang yang tadi baru saja kamu temui sepertinya tidak tega melihatmu pulang sendiri. Perasaanmu saat itu menjadi tidak karuan. Kamu tahu artinya itu.        Di perjalanan kalian membicarakan banyak hal. Tentang buku, tentang dunia dunia, tentang apapun. Ada beberapa kali perdebatan diiringi

Putih

       Dahulu, ada seseorang yang telah lahir lebih dulu. Melihat dan merekam, menggambarkan semua isi kepalanya lewat kumpulan kata.        Belasan tahun sesudahnya, ada seseorang yang lahir setelahnya. Dia tak tahu apa-apa sampai bertemu dunia-dunianya. Dia tak pernah mengira bahwa warna putih bisa membias menjadi pelangi. Dia baru pula tahu bahwa setiap warna itu memiliki cerita.        Bertemulah dia dengan satu warna indah. Kadang, dia masih kebingungan menamai warna itu. Warna indah yang bisa tiba-tiba berubah menjadi menyedihkan, bukannya membahagiakan.        Belakangan, dia tahu dari orang-orang, mereka sering menyebut warna itu 'cinta'. Dia semakin dibingungkan dengan apa yang baru dia ketahui. Terkadang dia bahagia akan hal itu, terkadang dia muak. Dia semakin banyak merenung. Memikirkan semua-semua itu, sendiri.        Kini, Dia, seseorang-yang-lahir-belakangan itu, bertemu dengan warna lain bernama 'pilihan'. Warna itu begitu terang dan berani. Dia

Renjana

       Hening.. masihkah ada suaraku terdengar? Sepertinya semakin hening. Hanya mengandai.. aku hanya mengandai saat itu tiada kutemui dirimu. Tahukah kau aku mengingat setiap detiknya.. semuanya! Kini aku berusaha mengeja kata m e n g a p a. Mengapa kala itu kau berbicara di depanku? Mengapa kala itu kau hadir mengagumkanku? Mengapa sampai hati ku mempertahankan rasaku hingga kini? Siapa yang tahu. Kita sama-sama punya kisah, tapi saling memendamnya. Kita saling berbagi, tanpa menjabarkannya. Mengaku butuh, tapi tak selalu mengadu. Siapa yang tak salah menilai..        Jadilah rasanya sudah tak mampu menyimpan rindu kian mendalam. Saat hanya beberapa waktu bahkan tak melihat namamu. Rasanya sayu. Semu. Mengenang sebuah bayangan. Menunggu sebuah ke-fiksi-an. Kini, kau perlu tahu kini, saat tanpa hadirmu, pagi tak sedingin dahulu. Yang kata mereka hujan membawa kenangan, tanpamu, bagiku hujan membawa kesedihan. Sedih karena pernah kulalui itu denganmu dan kini tak lagi.     

Sekali Lagi Aku

       Masih ada tersisa dari beberapa detik yang lalu. Masih ada gelap yang menemaniku, memikirkan tentang memori selama aku mengenalmu. Aku, telah pernah berusaha menjadi seperti seseorang yang lebih pantas kamu idam-idamkan. Aku, telah pernah mencoba merubah diriku sebaik mungkin agar selalu baik dimatamu. Bahkan mungkin kamu perlu tahu, Aku, juga telah susah payah mencari alat untuk menghapusmu sementara dari hidupku~        Selama ini, waktu yang kian bertambah dari sejak pertama aku mengenalmu, aku merasa sakit, alergi, demam, dan tak punya daya. Yang pada awalku masih bersih mengkilat untuk sanggup dengan lancar merefleksikan sebuah bayang, kini retak-retak. Karena tanpa sengaja kamu membantu merusaknya secara perlahan. Aku memang benda mati yang tak mampu mengutarakan isi hati. Ya, aku juga punya hati. Bagian itu yang paling krusial di tubuhku. Bagian yang tak luput dari-tentangmu. Bagian yang pertama kali kamu sentuh saat menatapku. Kini, aku tahu kamu sudah menemukan sesu

Nestapa

Dingin.. Dingin siang selepas penghujan Hampa.. Hampa suara di sebuah sudut yang hilang Lenyap.. Lenyap sudah beberapa petikan kata Dingin, Hampa, Lenyap Dan lalu terulang Dingin, Hampa, Lenyap Ada apa semua menjadi buta? Aku sudah bosan bertanya Aku mencari Aku sendiri

Nir

Aku tak harus berjalan di tengah, agar lebih indah Aku tak harus berlari, untuk jadi yang pertama Aku tak harus tersenyum, untuk dipandang Aku tak harus memaksa, untuk mau Aku tak harus pura-pura, agar punya nama Aku tak harus bersembunyi, agar dicari Aku tak harus menutup mata, agar gelap jadi cerita Aku tak harus berteriak, untuk didengar Aku tak harus berdandan, untuk dapat teman Tidak.. Aku tidak harus melakukan yang mereka lakukan Tidak.. Aku tahu wajahku sendiri

Diorama Semu #6

       Sudah kembali.. aku bertemu dengan gelap ini lagi. Rindu-rinduku kemarin tersampaikan. Namun hari ini aku memilih menikmatinya tanpa melukiskannya di kertas-kertasku. Aku sedang berfikir tentang banyak hal yang telah kubangun dan kurusak sebelumnya. Kulihat sekelilingku, semua masih sama sejak kutinggalkan beberapa hari yang lalu. Bayanganku masih serupa diriku. Suasana ini belum hilang. Aku berusaha mendengar lagi suara jemariku yang lalu. Isinya kebanyakan abu-abu. Tak kusangka tulisanku begitu menggambarkan sedang kosongnya diriku. Aku yang terlihat begitu mencari arti dalam mimpi, untuk menemukan ujung jalan. Aku yang begitu cinta akan gelap, malam, dan rembulan. Ternyata sebeginikah diriku? Hampir-hampir ku tak menyadarinya..        Malam ini, aku mencoba merangkai lagi beberapa cerita dahulu. Mengumpulkan harapan-harapan yang terlintas. Mengandai kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya. Teman-temanku disini, mereka diam tapi tak bisu. Mereka membantuku mengingat satu

Diorama Semu #5

       Ruangan seluas ini terasa begitu sempit dan panas meskipun tubuhku menggigil dingin. Salah satu sumber cahaya terpasang tepat beberapa meter di atas wajah. Disini banyak manusia.. tak seperti ruanganku dengan teman-temanku. Disini berisik.. aku benci keramaian. Perhatianku hanya ke beberapa sudut atas, kelambu usang yang membatasi cahaya luar, dan menetesnya cairan Ringer Laktat yang disalurkan ke tanganku.        Lama sekali aku tak berjumpa mereka. Tulisanku berhenti di ujung mana juga ku tak tahu. Aku sangat merindukannya. Sekarang hanya bisa kubayangkan saja. Sebenarnya tak apa berlama disini asal sepi, di ruang tersendiri. Kalau bosan aku bisa menyanyi, kalau terlalu bosan aku bisa mengabadikan sudut-sudut sekitarku. Pasti akan jauh lebih menyenangkan dari saat ini.        Aku butuh pena dan kertas setidaknya. Tangan kananku yang masih bisa bergerak dengan bebas harus melakukan sesuatu. Mumpung otakku juga (masih) mampu berfikir. Aku tak mau hanya diam. Meski tubuh tak

Diorama Semu #4

       Sementara ini aku berpindah, tak seperti biasanya, tak dengan biasanya. Ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang hilang, pergi entah kemana. Ah.. aku terlalu bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa melalui semua ini?? Dengan siapa lagi aku berbagi cerita?? Tuhan.. tolong aku Tuhan. Aku kehilangannya. Tulisanku benar-benar berhenti ditengah, sebelum titik. Tubuhku seolah semakin terlempar jauh. Aku kehilangan temanku. Kini malamku akan semakin sepi. Kini sepiku akan semakin sunyi. Dan sunyiku akan semakin sendiri. Cahaya remang dan diorama lain tak lagi membantu, kini..        Aku mungkin bisa mencari yang lain. Aku tahu aku juga selalu memungkinkan semua ketidakmungkinan.  Tapi untuk kali ini, menggantinya adalah sebuah ketidakmungkinan yang amat diluar batas. Maka kini semua tak lagi bisa bergerak. Aku hanya bisa duduk melamun tanpa menceritakannya. Lalu apa aku akan menemukannya lagi?.. Sementara menunggu, aku hanya bisa membodoh-bodohkan diriku dan berusaha meraba lagi ingatanku,

Diorama Semu #3

       Aku berlari dengan cepat melewati puluhan anak tangga yang biasa kulalui setiap waktu beberapa bulan terakhir ini. Sejenak ku berhenti untuk bernafas. Aku menunduk dan melihat ujung-ujung kakiku menapak dengan terpaksa di permukaan lantai keramik. Aku tahu mereka juga lelah. Ku tarik napas dalam-dalam. Tak ada orang lain disana. Hanya angin yang tiba-tiba terhembus masuk melalui sela jendela. Di atas terlihat dua baris anak tangga lagi. Aku sudah di lantai 3.        Akhirnya tibalah di ruanganku. Segera kuhampiri tulisanku. Apakah mereka baik-baik saja?.. Ku dengarkan ulang kalimat-kalimat yang sempat kuperdebatkan sebelumnya. 3 kali ku membacanya. Saat aku sudah cukup tenang, aku melanjutkannya lagi. Masih dengan nuansa yang sama. Masih kawan-kawan yang kemarin. Jam dinding yang masih ber-tik-tok di atas sana, kalender yang tergantung pasrah, cahaya kecil pembentuk bayanganku, pena dan kertas suciku.        Kulantunkan lagi.. kata demi kata. Aku harus tenang. Aku harus tena

Diorama Semu #2

       Sejak saat itu masih belum berakhir.. Aku mencari-cari cahaya lain agar kalimatku tak berhenti sebelum titik. Aku melanjutkan tulisanku sambil menangis. Bukan.. bukan aku bersedih karena keadaan. Aku hanya tak percaya bisa melaluinya. Tadinya ku kira, aku tak akan bisa mendengar lanjutan ceritaku lagi.        Dari cahaya yang kutemukan tadi, terbias bayangku dengan jelas. Tanganku, tubuhku, dan penaku yang sempurna. Kumainkan bayangan jemariku dengan tempo jam dinding diatas sana. tik.. tok.. tik.. tok.. Hening malam ini telah pecah oleh suaranya. Aku terpaksa memandang ke arahnya. Kulihat sudah larut. Namun inilah yang biasanya kutunggu. Aku bisa dengan bebas memainkan khayalku, bersama mereka semua yang setia menemaniku.       Aku takut hal itu terjadi lagi. Maka kupercepat laju penaku sembari menenangkan perasaanku. Aku percaya selalu bisa melaluinya.         Aku mencari-cari hal yang lain disekitarku. Ah, ada sebuah, dengan banyak angka disana, di tembok, tergant

Senandika

       Cahaya itu berwarna Biru. Terang sekali diantara gelap. Aku berusaha menggapainya seiring dengan tanganku menari-nari di depan mataku. Membiaskan bayangan nan lembut. Tapi ia masih saja disana. Di kejauhan. Kita tak saling menghampiri, juga tak saling pergi. Biru.. Indah sekali. Bahkan disela mataku terpejam, ia masih saja tampak samar. Serasa memberi dingin dalam hangat. Tenang dalam diam..        ' Tak bisakah kau berhenti mengejarnya? '. Tidak. Atau mungkin belum. Sebenarnya.. aku tak tahu caranya. Ia terus saja membuatku ingin berlari meski aku tahu aku letih. Pernah sekali kucoba tuk bernapas. Namun suaranya memanggilku. Aku mengikutinya lagi. ' Tidak adakah cahaya lain? mengapa harus biru? ' . Karena tidak ada lagi Biru diluar sana. Langit, laut, dan dirinya. Tiada lagi selain mereka. ' Itu saja? '. Aku tak bisa menafsirkan rasa, menjabarkan cerita. Aku bukan pendongeng, hanya pengagum. Entah darimana kulihat.. Hanya saja cahaya itu membuatku sem

Diorama Semu

       Kali ini aku bermain dengan a, i, u. Huruf hidup. Huruf yang selalu ada di setiap-mu, setiap-ku, setiap-mereka. Ku biarkan saja jemariku berjalan menggerakkan pena ini dari ujung kiri ke kanan, memenuhi garis-garis yang terbaca. Kotor.. kertas yang tadinya putih nan bersih menjadi kotor karena goresanku. Namun ia tak pernah mengeluh dan memintaku menghapusnya. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan dan ia dengan-senang-hati menampungnya. Sampai lusuh. Lalu pada siapa ku berterimakasih? Mereka bahkan hanya madi. Mampu mendengar, melihat, tanpa bisa berucap. Andai kata mampu, aku ingin mereka setidaknya berkata "hay", lalu aku akan lebih bersemangat menyambung ceritaku atau puisi-puisiku. Aku mengandai pula ia benar bisa bicara dan memprotes semua tulisanku. Rasanya pasti menyenangkan. Aku jadi tak perlu was-was mencari pembaca.        Soal a, i, u-ku tadi.. aku makin menyukai huruf-huruf itu. Tulisanku menjadi lebih bernyawa karena mereka. Senandung batinku tersampaik

Lalu Aku

Kau kah itu? Semenjak tiada Kuraba lagi nada-nadamu Kudengar lagi kata-katamu Aku kah itu?.. Tak pernah bisa ku mengerti semua pertanda Tiada sanggup lagi ku berlari terlalu jauh, Terlalu lama Sungguh sukar hati berkata bukan Lebih-lebih sama, Seperti mencari pasti lewat frasa; Tuk membuktikan Seolah sudah ku lupa dalamnya telaga Seolah buta apa itu cinta.. Maka ingin sekali pergi dari sepi Ku tunjukkan rupa cerita Namun di nyata.. Aku tak tahu mengucap bagaimana Bukankah salah Tuhan mencipta? Jika sampai ini saja ujungnya Lalu haruskah ku menyela kuasaNya? Karena terlalu larut dalam rasa Yang dicari Yang dinanti Yang diandaikan Seribu tanyaku yang tak pernah sampai Kau, Dirimu, lalu Aku 'Bisu'...

Lihat

Ada langit malam Maka ada bintang sonder mendung Yang tampak di mata Maka adalah yang paling terang Lebih dari satu atau dua bahkan sejuta Anteng di tempat masing-masing Sumbang cahaya sumbang warna Gelap jadi tak suram Malam jadi tak kelam Terang disini terang disana Lihat, mereka terlihat diam Sesungguhnya mereka berjalan Berputar di jalur orbitnya Mereka tak bohong Agaknya tampil baik dari jauh Sedihnya, Yang terterang tak mampu membantu yang redup Tuan sudah tahu Takdir sudah jadi itu Tiada cemas meski sendiri Kerana bintang tetaplah bintang Tetap jua saling dipuja - Arjuna, 22/01/16

Dalam Mimpi Mencari Arti

Ketika kelam dalam derau Mencari arti.. Menunggu sunyi.. Banyak wajah tak bersuara Banyak tubuh tak bernama Namun terdengar mereka riuh dalam samar Lalu bertanya pada siapa sebenarnya Ketika gemercik dalam elegi Menjemput duka.. Menyimpan cerita.. Datang dari yang biasa dikenang Datang membunuh 'harapan' Hingga terlihat mereka berjalan tanpa waktu Sampai berhenti dan berganti baru Kalau saja ada yang tahu Jawaban diatas pertanyaan Maksud dari tanda yang di-mungkinkan Jika saja ada yang cepat sadar Ini itu pula disana adalah mimpi Kan terjadi saat dikehendaki Bangunlah..

Rupa-Rupa

Serupa diriku.. Rupa yang mengawal malam Penjemput mimpi Serupa wajahku.. Rupa yang membaca mata Menggambar lewat cerita Serupa bayangku.. Rupa yang menantang gelap Pencari sudut cahaya Tak banyak rupa tak banyak muka Tanpa dikira tanpa dirasa Banyak yang menentang banyak yang mengenang Setidaknya hanya satu rupa Tak pernah pura-pura..

Sedang Kosong

Ada satu titik sempurna Dimana kata mampu bercerita Ketika waktu memberi sejarah Saat rindu di ujung malam, Membunuh sunyi di ufuk hari.. Mampukah dunia ditarik kembali Agar kenangan tak lantas pergi 2 detik bagai 2 jam, 2 hari bagai 2 minggu Ini kata jiwa yang hampa Ini kata hati yang sepi Tanpanya , tak ada isi Apalah daya seorang manusia Menunggu sapa tanpa menyapa Kerana masih ragu dengan jarak dan rasa Titipkan saja salamku Tak apa meski tak sampai tahu Indahnya melihatmu dari sini..

Sajak Santri

Sang bhagaskara mulai pergi Gumam puji tuk Gusti diputar kembali Gulatan batin kini menepi Ratusan umat berdatangan Manyembah tanpa pengharapan Sujud penuh ketulusan.. Hati belum berpaling Fikiran masih eling Ibadah adalah nyawa Berjubel pada satu tempat Jauh dari sanak kerabat Katanya rindu pulang cepat Yang dicari jalan surgawi Yang diharap ridho Illahi Tanpa harus lelah sendiri Kadang ego tak lagi sabar Manahan rindu dunia luar Melihat sudut distorsi lebar Atau sekedar main sebentar Ada yang bilang.. sudah Lihat saja selepasnya Era ini juga cerita Ditata agar tak salah langkah Agar mereka benar tahu Dunia lebih kejam dari tempat itu Agar mereka benar mengerti Hidup sebenarnya adalah setelah mati..

Padamu Kau Rembulan

Padamu rembulan.. Kaulah indah dalam gelap malam Yang bercahaya diantara riuh bintang Disini aku melihatmu Adalah kau rembulan Tempatku mengisi sepiku Ruangku membagi kisahku Tujuanku mencari semangatku Adakah kau tahu rembulan.. Bahwa hanya bisa kupandangimu dari jauh Masih sama seperti dulu Hanya mampu kupanggil namamu dari bumi Tanpa pernah langitpun mendengar Ku hanya sanggup bercerita lewat mimpi Tak ada yang nyata Andai ku bisa memelukmu rembulan Bernyanyi di dekatmu Mengatakan ini di depanmu Mungkin semua begitu sempurna Namun terhalang oleh semesta Aku merindumu rembulan Aku menanti kedatanganmu Aku membunuh pagi demi melihatmu Meski ku tahu segala semu Dan kau juga bukan milikku

Jeritku pada Dunia

Ingin rasanya kubanting jam dinding disana Agar ia tak mengganggu sunyi Lalu separuh batinku mulai berdayu Kau? Kau kenapa? Lihatlah dunia sepicik ini Bahkan api tak lagi mau membakar Yang ada hanyalah keinginan semu Drama dalam drama.. Mimpi dibalik mimpi.. Saat kupejamkan, semua berjalan mundur Indahnya masa itu Dimana belum ku kenal kau dia dan mereka Ketika semua bisa dibeli dengan air mata Cepat sekali berjalan Tapi siapa yang tahu Tak ada roda segitiga, hanya lingkaran Aku hanya ingin berlari dengan tangis Tanpa melihat kanan kiri Aku hanya ingin berjibaku dengan dingin Tanpa peduli matahari Dunia Dunia Dunia..! Aku terlalu kecil di genggamnya Sudah habis tempat bersembunyi Sudah gugur rimbun daun semi Memang pahit, mengapa berhenti? Jalan lagi...

Dimanakah Dia?

       Tiba saat ku kembali membuka mata. Pagi datang lagi. Kumemandang lurus keatap kamarku. Aku harus duduk, berdiri, ataukah tetap di posisiku kembali memejamkan mata? Begitu perdebatan tiap pagi. Mungkin tak ada salahnya kembali menarik selimut. Kiranya satu dua atau lima menit cukup untuk pemulihan dari tidur. Sampai sebelum,.. "Le! bangun! ayo sekolah". Alarm alamiku tiap pagi, Ibuku. Kalau sudah begitu tandanya aku harus menumpuk semangat untuk bangun. Daripada Ibu datang ke kamar dan berceramah lebih panjang. "Le! ayo kok. Tiap pagi kok kaya ngene. Kamu iku wes besar. Cah lanang kok males-malesan! Piye nanti kalau sudah waktunya kerja, belum lagi nanti menikah. masa istrimu suruh obrak-abrik kaya Ibu tiap pagi. Le! mana ngga pernah sholat subuh. kalau sholat subuhmu bolong sholatmu yang lain jadi ikut males!". Atau lebih panjang lagi. "heem bu". Mataku seolah melekat satu sama lain, berontak untuk dibuka. Kurubah posisiku tengkurap, lalu kuturunkan

Dunia Maya dan Metamorfosa

          Ada sebatang pena. Ada berlembar kertas dalam buku kecil. Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Menulis sebuah cerita fiksi nyata opini. Ataukah menggores titik dan garis menjadi sebuah gambar. tapi aku tidak bisa menggambar. Mungkin puisi, tapi sedang tidak ada inspirasi. Jadilah aku kembali pada berhala kecil yang kini menjadi kebutuhan setiap manusia, bahkan teman tidur dan teman dimanapun. Memang benar, Telepon genggam. Kalau tak tahu, Telepon selular. Bisa juga, Handphone, yang disingkat menjadi "hp".            Kembali bermain dengannya, membuka situs-situs dunia maya. Menunggu dan mencari tahu kabar terbaru. Ikut campur masalah banyak orang. Dengan jumlah manusia yang begitu infinit, Dunia yang semakin gila terus berkembang. Aku sadar, dulu kecilku ketika semua kegilaan ini belum tercipta, banyak hal dilakukan dengan manual sehingga memberi kesan. Lantas sekarang, apa yang tak bisa dilakukan di dunia maya? Dunia yang bahkan tak nyata. Dunia serba bisa, ser

Jika

(teruntuk kau dan mereka) Jika masih ada dua puluh tahun lagi Maka bolehkah aku menanam benih Lalu menunggunya muncul ke permukaan Jika hujan tak lagi bercerita Bisakah aku melukis kisahku sendiri Lalu membaginya padamu dan dunia Jika jalan dalam lorong teramat gelap Bolehkah aku meminjam sedikit cahaya Agar sesuatu tak melukaiku Jika ada tempat untuk berdiam diri Akankah aku mendapat sedikit ruang Karena ku juga mencari tenang Jika panas mentari terlalu menyengat Bolehkah aku menumpang di balik payung Setidaknya sampai mendung menyusul Jika semua manusia sudah bahagia Bolehkah aku titip namaku Agar suatu saat mereka bisa mengenangnya Jika malam terlalu larut Biarlah aku berjalan paling depan Karena ingin kusambut sepi dihadapku Jika aku sudah tak mampu berkata Sudikah kau mengingatkanku Agar bisa kulanjutkan hidup Jika sudah habis air mata Maukah kau membagi duka Nantinya kan ku rangkai dengan milikku Namun jika ku sampai pada ujung lorongku Ijin

Dunia hanya Babibu

Kau sadar apa yang sedang kau lakukan? Sebenarnya kau perlu tahu Seluruh isi dunia adalah inai Padat, sesak, tak jelas Tak jelas ada apa di dalam gelapnya Dari jauh sebam, dari dekat seram Jika ada yang berani menyibaknya Kengerian itu akan terpampang nyata Jika mereka coba me-reka satu per satu; Ada perang ilmu sok tahu, Ada gulat antar kubu, Ada permainan raja dan ratu Akan pula terlihat; Emas selalu di tumpukan paling atas Warna abu-abu sendiri tapi mendominasi Serta tragedi kanibalisme Ironisnya semua kekejamam itu ada di hadapmu Berputar secara faali Jika kau sedih, lebih baik menghibur diri Mungkin dengan menyanyi atau menggambar matahari Jika kau kesal, lebih baik kau pergi Mungkin ke tempat yang muat denganmu saja Jika kau marah, lebih baik kau lari Agar sekitarmu tak terluka karnamu Ketika kau senang, lebih baik unjuk gigi Sebab tak semua merasa yang kau rasa Namun jika kau lelah, lebih baik mati Maka kau lebih b

Refleksi

Tidak Tatapan itu tidak nyata Keindahan disana adalah palsu Dia tak tahu yang sebenarnya Dia hanya meniru Kau begini, dia juga sama Bedanya dia tak bisa merasa Tapi, kau bisa menyentuhnya Kau bisa menangis dihadapnya Berkeluh akan semua kesah Kau bisa mengajaknya beropera Bertingkah apapun Yang tak bisa kau lakukan dengan makhluk bernyawa Dia hampa Namun sanggup mengangkatmu ke angkasa Memani, mendukungmu selalu Dengan jujur tanpa epik Hanya dia yang tahu

Tanya?

Mengapa cinta adalah gila Mengapa yang jauh dirasa dekat Dekat begitu jauh Mengapa hati bisa berkata, tanpa mau bicara Mengapa jiwa selalu bersedih, tapi tak kuasa menangis Bagaimana mungkin sebuah rasa tercipta Namun tak pernah punya arah Kapankah dunia tahu Bahwa sendiri adalah merana Dan juga bahagia Sampai kapan nantinya Ruang hati menampung cerita Akankah tubuh tetap sanggup diam Pun terjaga agar tak seketika meledak Dimanakah sesungguhnya suara-suara itu terbendung Atau siapa sejatinya Yang sudi mendengarnya Tak pernahkah ada yang mengerti Adakah cara terbaik yang mampu; Mengubah tanya menjadi jawab Mengubah pilu menjadi asa Mangubah harap menjadi nyata Serta Mengubah tak ada menjadi suka ???

(Belum) Hilang?

Sendu kian menggebu Rindu masih bertalu Sampai kapankah berdebat dengan sukma Jika rasa tak kunjung sirna Lidah dan mulut tetap muna Kata lelah seolah majasi Air mata terlalu berharga Masih disini Sulitkah pergi atau lari? Apa guna menahan perih? Terlalu banyak alasan Hanya dapat menguburnya Tapi mata enggan menatap Tangan tak sudi menyentuh Hati menjerit mengingatnya Kini berharap lupa Sedihnya makin menjadi-jadi Malamlah yang mau merangkul Sebab dunia juga tak tahu Sudah lintasi berapa angka Namun masih ada saja Indahnya keheningan, indahnya penantian Satu lagi yang terlintas Lalu bagaimana?

Sajak Penaku

Gambar
Penaku marah Ingin memaki-maki kertas buta Lalu seekor kucing sudah jijik makan tikus Ditambah ayam malas berkokok Atau lampu yang berkedip habis waktu Maka ia semakin geram Ingin mencakar lembar dihadapnya Tapi ada secuil keraguan Takut tintanya meluber kemana-mana Takut yang putih menjadi kotor Walau dendam, ia diam Padahal sekitarnya men-jancuk-kan Sudah lagi soak busuk pula berkarat Tak lagi bisa dilihat Meninggalkannya tergeletak sendirian, Sebab sibuk menutupi cacat yang terbaca Memilih disapa daripada menyapa Penaku ingin menangis Tapi tak ada alas yang mau menampung coretannya Bahkan saat gelap terang hari sudah basi Padi ani-ani sampai tanam lagi Ia masih tenggelam dibalik tutup kepalanya Mereka palsu!, katanya

Untuk Beliau

Hey aku paham siang ini panas Kambing saja enggan keluar Tapi beliau masa bodoh Terjang saja tanpa payung atau sarung Padahal mata tak bisa mendusta Sudah enek dengan dunia dan anjing-anjingnya Lelah mau muntah Aku jadi masih cengeng Meratapi tingkah pola beliau Aku juga kadang mangkel Adu hati perang mulut Tapi lagi, beliau guru semua ilmu Kaya petuah tanpa upah Menuntunku dari orok sampai senja Ajariku aneh-aneh sampai genah Dari belum bisa batuk sampai bisa mendehem Dari tak tahu biru sampai tahu ungu Sedihnya hanya tak bisa sulap Karena Gusti maha adil Mujur terus itu nihil Setidaknya lah sekarang ada hasil Sudah fasih, 'jangan nyeruput kopi panas' Atau jangan-jangan yang lainnya Tak butuh dilihat Aku sampaikan aku sayang Aku masih tak bisa apa-apa jika tak ada apa-apa Aku sadar dan tak ada pelajaran bohong Jalan tol masih terus bayar, gunung sawah matahari masih tetap digambar Untuk beliau, Satu saja in

Senja Raya Redam

Gambar
Masih terdengar suara itu Nada pembawa berita Sisa peluh semalam Kini kisah lain datang lagi Menuntut hal baru yang tak sama Senja kala, senja raya Hadir tanpa ada yang memanggil Mengutuk makhluk disekitarnya Manusia meraba sedikit cahaya Lupa dengan tabula rasa Otak diracuni egomania Yang ada hanya dolanan asal senang Bagai syair tanpa sajak Bagai busa tanpa buih Tak ada arti

My Shadow

Here come my shadow Sprawled under the willow Who never stop to glow Not ashamed to show Different with truthfully me Prevaricate and imitate Too afraid to blowup Look at my shadow! It can sing without speak It can dance without move It can do whatever it want And so lucky It can't see, hear, also feel So it don't need to know what is pain Don't need to touch what is hurt Only do what will do My shadow were always life Till everything become nothing

Tak Tahu

Lihat diriku, kawan Mungkin gelap menyelubungiku Sedang sedu jua hancur Tatkala lembayung tenggelam tiba-tiba Menangis pun aku tak kuasa Hanya termangu menembus ruang maya Lalu bersiah mencari tempat aman Diserbu genjatan pertanyaan Dikelilingi ketidaktahuan Sementara yang lain bahagia Aku terbuih rasa sesal Cukuplah terdiam terkapar Sudah buta pula bodoh sebelumnya Tak tahu apa, kini gerak tak lagi berarti Dasar dunia memang fabula!

Untuk para Domba

Gambar
Pagimu masih panjang, wahai para domba Padang rumput hijau membabar jauh di ujung mata Banyak waktu untuk menyusurinya Para domba, tuanmu disana menunggu Lebih baik kau tak habiskan yang tersisa Carilah selagi kuat Larilah selagi kakimu masih mau membantu Loncat jika perlu Pandangi seantero langkah Nanti, para domba Kan kau jumpai bunga-bunga yang mengerna Sesekali pun akasia berduri Susuri saja semua mengikuti nalurimu Tak perlu iri dengan burung-burung di atas sana Mereka sama juga fana Ingat selalu, para domba Janganlah segan mencari bahagia Jangan mandek ukir asa mengangah Kejar dan kejar Senja yang akan tiba Kala waktu bermainmu telah usai Tuanmu, kan menjemputmu pulang