Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

Jeritku pada Dunia

Ingin rasanya kubanting jam dinding disana Agar ia tak mengganggu sunyi Lalu separuh batinku mulai berdayu Kau? Kau kenapa? Lihatlah dunia sepicik ini Bahkan api tak lagi mau membakar Yang ada hanyalah keinginan semu Drama dalam drama.. Mimpi dibalik mimpi.. Saat kupejamkan, semua berjalan mundur Indahnya masa itu Dimana belum ku kenal kau dia dan mereka Ketika semua bisa dibeli dengan air mata Cepat sekali berjalan Tapi siapa yang tahu Tak ada roda segitiga, hanya lingkaran Aku hanya ingin berlari dengan tangis Tanpa melihat kanan kiri Aku hanya ingin berjibaku dengan dingin Tanpa peduli matahari Dunia Dunia Dunia..! Aku terlalu kecil di genggamnya Sudah habis tempat bersembunyi Sudah gugur rimbun daun semi Memang pahit, mengapa berhenti? Jalan lagi...

Dimanakah Dia?

       Tiba saat ku kembali membuka mata. Pagi datang lagi. Kumemandang lurus keatap kamarku. Aku harus duduk, berdiri, ataukah tetap di posisiku kembali memejamkan mata? Begitu perdebatan tiap pagi. Mungkin tak ada salahnya kembali menarik selimut. Kiranya satu dua atau lima menit cukup untuk pemulihan dari tidur. Sampai sebelum,.. "Le! bangun! ayo sekolah". Alarm alamiku tiap pagi, Ibuku. Kalau sudah begitu tandanya aku harus menumpuk semangat untuk bangun. Daripada Ibu datang ke kamar dan berceramah lebih panjang. "Le! ayo kok. Tiap pagi kok kaya ngene. Kamu iku wes besar. Cah lanang kok males-malesan! Piye nanti kalau sudah waktunya kerja, belum lagi nanti menikah. masa istrimu suruh obrak-abrik kaya Ibu tiap pagi. Le! mana ngga pernah sholat subuh. kalau sholat subuhmu bolong sholatmu yang lain jadi ikut males!". Atau lebih panjang lagi. "heem bu". Mataku seolah melekat satu sama lain, berontak untuk dibuka. Kurubah posisiku tengkurap, lalu kuturunkan

Dunia Maya dan Metamorfosa

          Ada sebatang pena. Ada berlembar kertas dalam buku kecil. Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Menulis sebuah cerita fiksi nyata opini. Ataukah menggores titik dan garis menjadi sebuah gambar. tapi aku tidak bisa menggambar. Mungkin puisi, tapi sedang tidak ada inspirasi. Jadilah aku kembali pada berhala kecil yang kini menjadi kebutuhan setiap manusia, bahkan teman tidur dan teman dimanapun. Memang benar, Telepon genggam. Kalau tak tahu, Telepon selular. Bisa juga, Handphone, yang disingkat menjadi "hp".            Kembali bermain dengannya, membuka situs-situs dunia maya. Menunggu dan mencari tahu kabar terbaru. Ikut campur masalah banyak orang. Dengan jumlah manusia yang begitu infinit, Dunia yang semakin gila terus berkembang. Aku sadar, dulu kecilku ketika semua kegilaan ini belum tercipta, banyak hal dilakukan dengan manual sehingga memberi kesan. Lantas sekarang, apa yang tak bisa dilakukan di dunia maya? Dunia yang bahkan tak nyata. Dunia serba bisa, ser

Jika

(teruntuk kau dan mereka) Jika masih ada dua puluh tahun lagi Maka bolehkah aku menanam benih Lalu menunggunya muncul ke permukaan Jika hujan tak lagi bercerita Bisakah aku melukis kisahku sendiri Lalu membaginya padamu dan dunia Jika jalan dalam lorong teramat gelap Bolehkah aku meminjam sedikit cahaya Agar sesuatu tak melukaiku Jika ada tempat untuk berdiam diri Akankah aku mendapat sedikit ruang Karena ku juga mencari tenang Jika panas mentari terlalu menyengat Bolehkah aku menumpang di balik payung Setidaknya sampai mendung menyusul Jika semua manusia sudah bahagia Bolehkah aku titip namaku Agar suatu saat mereka bisa mengenangnya Jika malam terlalu larut Biarlah aku berjalan paling depan Karena ingin kusambut sepi dihadapku Jika aku sudah tak mampu berkata Sudikah kau mengingatkanku Agar bisa kulanjutkan hidup Jika sudah habis air mata Maukah kau membagi duka Nantinya kan ku rangkai dengan milikku Namun jika ku sampai pada ujung lorongku Ijin

Dunia hanya Babibu

Kau sadar apa yang sedang kau lakukan? Sebenarnya kau perlu tahu Seluruh isi dunia adalah inai Padat, sesak, tak jelas Tak jelas ada apa di dalam gelapnya Dari jauh sebam, dari dekat seram Jika ada yang berani menyibaknya Kengerian itu akan terpampang nyata Jika mereka coba me-reka satu per satu; Ada perang ilmu sok tahu, Ada gulat antar kubu, Ada permainan raja dan ratu Akan pula terlihat; Emas selalu di tumpukan paling atas Warna abu-abu sendiri tapi mendominasi Serta tragedi kanibalisme Ironisnya semua kekejamam itu ada di hadapmu Berputar secara faali Jika kau sedih, lebih baik menghibur diri Mungkin dengan menyanyi atau menggambar matahari Jika kau kesal, lebih baik kau pergi Mungkin ke tempat yang muat denganmu saja Jika kau marah, lebih baik kau lari Agar sekitarmu tak terluka karnamu Ketika kau senang, lebih baik unjuk gigi Sebab tak semua merasa yang kau rasa Namun jika kau lelah, lebih baik mati Maka kau lebih b

Refleksi

Tidak Tatapan itu tidak nyata Keindahan disana adalah palsu Dia tak tahu yang sebenarnya Dia hanya meniru Kau begini, dia juga sama Bedanya dia tak bisa merasa Tapi, kau bisa menyentuhnya Kau bisa menangis dihadapnya Berkeluh akan semua kesah Kau bisa mengajaknya beropera Bertingkah apapun Yang tak bisa kau lakukan dengan makhluk bernyawa Dia hampa Namun sanggup mengangkatmu ke angkasa Memani, mendukungmu selalu Dengan jujur tanpa epik Hanya dia yang tahu

Tanya?

Mengapa cinta adalah gila Mengapa yang jauh dirasa dekat Dekat begitu jauh Mengapa hati bisa berkata, tanpa mau bicara Mengapa jiwa selalu bersedih, tapi tak kuasa menangis Bagaimana mungkin sebuah rasa tercipta Namun tak pernah punya arah Kapankah dunia tahu Bahwa sendiri adalah merana Dan juga bahagia Sampai kapan nantinya Ruang hati menampung cerita Akankah tubuh tetap sanggup diam Pun terjaga agar tak seketika meledak Dimanakah sesungguhnya suara-suara itu terbendung Atau siapa sejatinya Yang sudi mendengarnya Tak pernahkah ada yang mengerti Adakah cara terbaik yang mampu; Mengubah tanya menjadi jawab Mengubah pilu menjadi asa Mangubah harap menjadi nyata Serta Mengubah tak ada menjadi suka ???

(Belum) Hilang?

Sendu kian menggebu Rindu masih bertalu Sampai kapankah berdebat dengan sukma Jika rasa tak kunjung sirna Lidah dan mulut tetap muna Kata lelah seolah majasi Air mata terlalu berharga Masih disini Sulitkah pergi atau lari? Apa guna menahan perih? Terlalu banyak alasan Hanya dapat menguburnya Tapi mata enggan menatap Tangan tak sudi menyentuh Hati menjerit mengingatnya Kini berharap lupa Sedihnya makin menjadi-jadi Malamlah yang mau merangkul Sebab dunia juga tak tahu Sudah lintasi berapa angka Namun masih ada saja Indahnya keheningan, indahnya penantian Satu lagi yang terlintas Lalu bagaimana?

Sajak Penaku

Gambar
Penaku marah Ingin memaki-maki kertas buta Lalu seekor kucing sudah jijik makan tikus Ditambah ayam malas berkokok Atau lampu yang berkedip habis waktu Maka ia semakin geram Ingin mencakar lembar dihadapnya Tapi ada secuil keraguan Takut tintanya meluber kemana-mana Takut yang putih menjadi kotor Walau dendam, ia diam Padahal sekitarnya men-jancuk-kan Sudah lagi soak busuk pula berkarat Tak lagi bisa dilihat Meninggalkannya tergeletak sendirian, Sebab sibuk menutupi cacat yang terbaca Memilih disapa daripada menyapa Penaku ingin menangis Tapi tak ada alas yang mau menampung coretannya Bahkan saat gelap terang hari sudah basi Padi ani-ani sampai tanam lagi Ia masih tenggelam dibalik tutup kepalanya Mereka palsu!, katanya

Untuk Beliau

Hey aku paham siang ini panas Kambing saja enggan keluar Tapi beliau masa bodoh Terjang saja tanpa payung atau sarung Padahal mata tak bisa mendusta Sudah enek dengan dunia dan anjing-anjingnya Lelah mau muntah Aku jadi masih cengeng Meratapi tingkah pola beliau Aku juga kadang mangkel Adu hati perang mulut Tapi lagi, beliau guru semua ilmu Kaya petuah tanpa upah Menuntunku dari orok sampai senja Ajariku aneh-aneh sampai genah Dari belum bisa batuk sampai bisa mendehem Dari tak tahu biru sampai tahu ungu Sedihnya hanya tak bisa sulap Karena Gusti maha adil Mujur terus itu nihil Setidaknya lah sekarang ada hasil Sudah fasih, 'jangan nyeruput kopi panas' Atau jangan-jangan yang lainnya Tak butuh dilihat Aku sampaikan aku sayang Aku masih tak bisa apa-apa jika tak ada apa-apa Aku sadar dan tak ada pelajaran bohong Jalan tol masih terus bayar, gunung sawah matahari masih tetap digambar Untuk beliau, Satu saja in

Senja Raya Redam

Gambar
Masih terdengar suara itu Nada pembawa berita Sisa peluh semalam Kini kisah lain datang lagi Menuntut hal baru yang tak sama Senja kala, senja raya Hadir tanpa ada yang memanggil Mengutuk makhluk disekitarnya Manusia meraba sedikit cahaya Lupa dengan tabula rasa Otak diracuni egomania Yang ada hanya dolanan asal senang Bagai syair tanpa sajak Bagai busa tanpa buih Tak ada arti

My Shadow

Here come my shadow Sprawled under the willow Who never stop to glow Not ashamed to show Different with truthfully me Prevaricate and imitate Too afraid to blowup Look at my shadow! It can sing without speak It can dance without move It can do whatever it want And so lucky It can't see, hear, also feel So it don't need to know what is pain Don't need to touch what is hurt Only do what will do My shadow were always life Till everything become nothing

Tak Tahu

Lihat diriku, kawan Mungkin gelap menyelubungiku Sedang sedu jua hancur Tatkala lembayung tenggelam tiba-tiba Menangis pun aku tak kuasa Hanya termangu menembus ruang maya Lalu bersiah mencari tempat aman Diserbu genjatan pertanyaan Dikelilingi ketidaktahuan Sementara yang lain bahagia Aku terbuih rasa sesal Cukuplah terdiam terkapar Sudah buta pula bodoh sebelumnya Tak tahu apa, kini gerak tak lagi berarti Dasar dunia memang fabula!

Untuk para Domba

Gambar
Pagimu masih panjang, wahai para domba Padang rumput hijau membabar jauh di ujung mata Banyak waktu untuk menyusurinya Para domba, tuanmu disana menunggu Lebih baik kau tak habiskan yang tersisa Carilah selagi kuat Larilah selagi kakimu masih mau membantu Loncat jika perlu Pandangi seantero langkah Nanti, para domba Kan kau jumpai bunga-bunga yang mengerna Sesekali pun akasia berduri Susuri saja semua mengikuti nalurimu Tak perlu iri dengan burung-burung di atas sana Mereka sama juga fana Ingat selalu, para domba Janganlah segan mencari bahagia Jangan mandek ukir asa mengangah Kejar dan kejar Senja yang akan tiba Kala waktu bermainmu telah usai Tuanmu, kan menjemputmu pulang