Senandika
Cahaya itu berwarna Biru. Terang sekali diantara gelap. Aku berusaha menggapainya seiring dengan tanganku menari-nari di depan mataku. Membiaskan bayangan nan lembut. Tapi ia masih saja disana. Di kejauhan. Kita tak saling menghampiri, juga tak saling pergi.
Biru.. Indah sekali. Bahkan disela mataku terpejam, ia masih saja tampak samar. Serasa memberi dingin dalam hangat. Tenang dalam diam..
'Tak bisakah kau berhenti mengejarnya?'. Tidak. Atau mungkin belum. Sebenarnya.. aku tak tahu caranya. Ia terus saja membuatku ingin berlari meski aku tahu aku letih. Pernah sekali kucoba tuk bernapas. Namun suaranya memanggilku. Aku mengikutinya lagi. 'Tidak adakah cahaya lain? mengapa harus biru?' . Karena tidak ada lagi Biru diluar sana. Langit, laut, dan dirinya. Tiada lagi selain mereka. 'Itu saja?'. Aku tak bisa menafsirkan rasa, menjabarkan cerita. Aku bukan pendongeng, hanya pengagum. Entah darimana kulihat.. Hanya saja cahaya itu membuatku semakin hidup, membuatku merasa tak sendiri, dan ia selalu mengiringi setiap mimpiku. 'Lantas apa yang kau lakukan selama ini?'..
Saat kupejamkan mataku, kurasakan tubuhku melayang, terbang. Dari atas sini kulihat ia masih terang. Ia bersenang-senang dengan dunianya. Ia semakin banyak di puja karena indahnya. 'Dengan itu kau sudah bahagia?'. Aku tak menuntut apa-apa. Hadirnya disini, sudah jadi sebuah bahagia. Memang terkadang ingin sekali aku menepis jarak ini. Tapi tahu-diri-ku mencegahnya. Aku tak seterang dirinya, tak seterang yang ia idamkan. 'Apakah sakit memendam rasa?' Sudah tak kuhiraukan lagi rasa sakit. Biarlah mereka menemukan tempatnya. Yang kuperlukan sekarang, hanyalah rongga rindu yang lebih kecil, agar mereka tak terus membesar. Aku banyak belajar dari pandangan ini. Arti untuk tak harus memiliki. Rasanya menyenangkan. 'Akan lebih menyenangkan kalau yang sekedar semu jadi nyata. Mengapa kau tak menemuinya, lalu mengatakan tentangmu padanya?'..
Tak perlu. Dalam lamunanku.. Dalam senandungku.. Dalam sepiku.. Aku sudah menemuinya setiap malam. Lalu kukatakan.. Aku mencintainya.
Biru.. Indah sekali. Bahkan disela mataku terpejam, ia masih saja tampak samar. Serasa memberi dingin dalam hangat. Tenang dalam diam..
'Tak bisakah kau berhenti mengejarnya?'. Tidak. Atau mungkin belum. Sebenarnya.. aku tak tahu caranya. Ia terus saja membuatku ingin berlari meski aku tahu aku letih. Pernah sekali kucoba tuk bernapas. Namun suaranya memanggilku. Aku mengikutinya lagi. 'Tidak adakah cahaya lain? mengapa harus biru?' . Karena tidak ada lagi Biru diluar sana. Langit, laut, dan dirinya. Tiada lagi selain mereka. 'Itu saja?'. Aku tak bisa menafsirkan rasa, menjabarkan cerita. Aku bukan pendongeng, hanya pengagum. Entah darimana kulihat.. Hanya saja cahaya itu membuatku semakin hidup, membuatku merasa tak sendiri, dan ia selalu mengiringi setiap mimpiku. 'Lantas apa yang kau lakukan selama ini?'..
Saat kupejamkan mataku, kurasakan tubuhku melayang, terbang. Dari atas sini kulihat ia masih terang. Ia bersenang-senang dengan dunianya. Ia semakin banyak di puja karena indahnya. 'Dengan itu kau sudah bahagia?'. Aku tak menuntut apa-apa. Hadirnya disini, sudah jadi sebuah bahagia. Memang terkadang ingin sekali aku menepis jarak ini. Tapi tahu-diri-ku mencegahnya. Aku tak seterang dirinya, tak seterang yang ia idamkan. 'Apakah sakit memendam rasa?' Sudah tak kuhiraukan lagi rasa sakit. Biarlah mereka menemukan tempatnya. Yang kuperlukan sekarang, hanyalah rongga rindu yang lebih kecil, agar mereka tak terus membesar. Aku banyak belajar dari pandangan ini. Arti untuk tak harus memiliki. Rasanya menyenangkan. 'Akan lebih menyenangkan kalau yang sekedar semu jadi nyata. Mengapa kau tak menemuinya, lalu mengatakan tentangmu padanya?'..
Tak perlu. Dalam lamunanku.. Dalam senandungku.. Dalam sepiku.. Aku sudah menemuinya setiap malam. Lalu kukatakan.. Aku mencintainya.
Komentar
Posting Komentar