Diorama Semu #2

       Sejak saat itu masih belum berakhir.. Aku mencari-cari cahaya lain agar kalimatku tak berhenti sebelum titik. Aku melanjutkan tulisanku sambil menangis. Bukan.. bukan aku bersedih karena keadaan. Aku hanya tak percaya bisa melaluinya. Tadinya ku kira, aku tak akan bisa mendengar lanjutan ceritaku lagi.

       Dari cahaya yang kutemukan tadi, terbias bayangku dengan jelas. Tanganku, tubuhku, dan penaku yang sempurna. Kumainkan bayangan jemariku dengan tempo jam dinding diatas sana. tik.. tok.. tik.. tok.. Hening malam ini telah pecah oleh suaranya. Aku terpaksa memandang ke arahnya. Kulihat sudah larut. Namun inilah yang biasanya kutunggu. Aku bisa dengan bebas memainkan khayalku, bersama mereka semua yang setia menemaniku.

      Aku takut hal itu terjadi lagi. Maka kupercepat laju penaku sembari menenangkan perasaanku. Aku percaya selalu bisa melaluinya. 

       Aku mencari-cari hal yang lain disekitarku. Ah, ada sebuah, dengan banyak angka disana, di tembok, tergantung. Kulihat angka yang paling besar menyebutkan 2, 0, 1, dan 6. Disela kedipan mataku terlintas jauh ke belakang dimana aku baru tau bagaimana cara mengeja dan melihat angka yang paling besar itu menyebutkan angka yang lebih kecil dari sekarang. Itukah waktu?.. Aku selalu merindukan masa itu. Ketika aku tak harus berfikir untuk merangkai beberapa kata agar terbaca, ketika ku tak perlu mencari kertas bersih untuk kukotori, dimanapun aku bisa melakukannya. Ketika aku tak harus mencoret paksa kata yang salah dan ketakutan jika berhenti di tengah tulisan. Aku yang dulu tak harus berfikir. Ketika saat itu yang penuh ke-tidak-tahu-an. Aku merindukan masa itu..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia Maya dan Metamorfosa

Ini-Bukan-Film

Senja Raya Redam