Diorama Semu
Kali ini aku bermain dengan a, i, u. Huruf hidup. Huruf yang selalu ada di setiap-mu, setiap-ku, setiap-mereka. Ku biarkan saja jemariku berjalan menggerakkan pena ini dari ujung kiri ke kanan, memenuhi garis-garis yang terbaca.
Kotor.. kertas yang tadinya putih nan bersih menjadi kotor karena goresanku. Namun ia tak pernah mengeluh dan memintaku menghapusnya. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan dan ia dengan-senang-hati menampungnya. Sampai lusuh. Lalu pada siapa ku berterimakasih? Mereka bahkan hanya madi. Mampu mendengar, melihat, tanpa bisa berucap. Andai kata mampu, aku ingin mereka setidaknya berkata "hay", lalu aku akan lebih bersemangat menyambung ceritaku atau puisi-puisiku. Aku mengandai pula ia benar bisa bicara dan memprotes semua tulisanku. Rasanya pasti menyenangkan. Aku jadi tak perlu was-was mencari pembaca.
Soal a, i, u-ku tadi.. aku makin menyukai huruf-huruf itu. Tulisanku menjadi lebih bernyawa karena mereka. Senandung batinku tersampaikan. Aku mendengarnya dengan tersenyum, kupenjamkan mata, dan kuayunkan kepala mengikuti iramanya, perlahan.. dan diiringi kibas rambutku. Suara-suara yang merdu.
Sesekali aku melirik ke ujung lain, "adakah kehidupan seindah ini disana?". Lalu kulanjutkan pekerjaanku, oh.. maksudku perwujudan kata-kata yang berjubel di otakku. Aku mencoba terus merangkainya agar mereka bisa berjalan dengan nyata. Begitu banyak yang harus kuperlihatkan. Sampai akhirnya tiba-tiba semua menjadi gelap.. Ceritaku tak lagi terdengar dengan jelas. Senyumku berubah murung. Aku panik. Aku tak mau mengakhirinya.. Aku tak mau mengakhirinya..
Kotor.. kertas yang tadinya putih nan bersih menjadi kotor karena goresanku. Namun ia tak pernah mengeluh dan memintaku menghapusnya. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan dan ia dengan-senang-hati menampungnya. Sampai lusuh. Lalu pada siapa ku berterimakasih? Mereka bahkan hanya madi. Mampu mendengar, melihat, tanpa bisa berucap. Andai kata mampu, aku ingin mereka setidaknya berkata "hay", lalu aku akan lebih bersemangat menyambung ceritaku atau puisi-puisiku. Aku mengandai pula ia benar bisa bicara dan memprotes semua tulisanku. Rasanya pasti menyenangkan. Aku jadi tak perlu was-was mencari pembaca.
Soal a, i, u-ku tadi.. aku makin menyukai huruf-huruf itu. Tulisanku menjadi lebih bernyawa karena mereka. Senandung batinku tersampaikan. Aku mendengarnya dengan tersenyum, kupenjamkan mata, dan kuayunkan kepala mengikuti iramanya, perlahan.. dan diiringi kibas rambutku. Suara-suara yang merdu.
Sesekali aku melirik ke ujung lain, "adakah kehidupan seindah ini disana?". Lalu kulanjutkan pekerjaanku, oh.. maksudku perwujudan kata-kata yang berjubel di otakku. Aku mencoba terus merangkainya agar mereka bisa berjalan dengan nyata. Begitu banyak yang harus kuperlihatkan. Sampai akhirnya tiba-tiba semua menjadi gelap.. Ceritaku tak lagi terdengar dengan jelas. Senyumku berubah murung. Aku panik. Aku tak mau mengakhirinya.. Aku tak mau mengakhirinya..
Komentar
Posting Komentar