Putih
Dahulu, ada seseorang yang telah lahir lebih dulu. Melihat dan merekam, menggambarkan semua isi kepalanya lewat kumpulan kata.
Belasan tahun sesudahnya, ada seseorang yang lahir setelahnya.
Dia tak tahu apa-apa sampai bertemu dunia-dunianya. Dia tak pernah mengira bahwa warna putih bisa membias menjadi pelangi. Dia baru pula tahu bahwa setiap warna itu memiliki cerita.
Bertemulah dia dengan satu warna indah. Kadang, dia masih kebingungan menamai warna itu. Warna indah yang bisa tiba-tiba berubah menjadi menyedihkan, bukannya membahagiakan.
Belakangan, dia tahu dari orang-orang, mereka sering menyebut warna itu 'cinta'. Dia semakin dibingungkan dengan apa yang baru dia ketahui. Terkadang dia bahagia akan hal itu, terkadang dia muak. Dia semakin banyak merenung. Memikirkan semua-semua itu, sendiri.
Kini, Dia, seseorang-yang-lahir-belakangan itu, bertemu dengan warna lain bernama 'pilihan'. Warna itu begitu terang dan berani. Dia mengenal warna itu dari rekaman sejarah, kata-kata, yang ditulis oleh seseorang-yang-lahir-lebih-dulu darinya. Dia mempelajarinya. Warna-warna yang lain juga muncul dari sana. Warna-warna yang baru dia sadari, sama seperti yang dia temui di dunianya.
Renungannya tertuju pada satu 'pilihan' yang hanya bisa diandaikan. "Kalau bisa memilih, aku ingin tetap menjadi putih, yang tak kenal warna pelangi", kata hatinya.
Dia mungkin sudah muak yang dosisnya berubah menjadi mual mau muntah. Kalau bisa memilih, dia ingin tetap tak tahu apa-apa. Dia ingin tetap tak bertemu warna lain selain putih. Atau bahkan, dia ingin dan lebih memilih untuk tak pernah dilahirkan. Tak pernah dilahirkan. Lebih dulu, maupun belakangan.
Agar dia tak bertemu warna-warni yang membuatnya bimbang. Menjatuhbangunkannya antara sedih dan bahagia. Mengombang-ambingkan jiwanya yang tak tahu apa-apa--sebelumnya. Tapi pada siapa dia mengadu?
Dia lalu mengambil lembaran kertas dan sebuah pena. Alat baru yang menemaninya selama ini. Dia mulai mengikuti jejak yang-lahir-lebih-dulu. Dia menumpahkan semuanya. Menodai baris demi baris dihadapnya.
Andai.. Andai.. Warna Putih.. Tetap Putih.. Bahagia.. Cinta.. Dunia.. Sedih.. Putih..
Ada beberapa kata itu di lembarnya. Beberapa kata yang sering dia ulangi. Pada siapa lagi dia mengadu?
Di tengah tarian penanya dia tersadar. "Tapi kenapa yang-lebih-dulu itu bisa serupa denganku?"
Ada yang belum dia ketahui, Dunia itu luas, dan selalu berputar.
Belasan tahun sesudahnya, ada seseorang yang lahir setelahnya.
Dia tak tahu apa-apa sampai bertemu dunia-dunianya. Dia tak pernah mengira bahwa warna putih bisa membias menjadi pelangi. Dia baru pula tahu bahwa setiap warna itu memiliki cerita.
Bertemulah dia dengan satu warna indah. Kadang, dia masih kebingungan menamai warna itu. Warna indah yang bisa tiba-tiba berubah menjadi menyedihkan, bukannya membahagiakan.
Belakangan, dia tahu dari orang-orang, mereka sering menyebut warna itu 'cinta'. Dia semakin dibingungkan dengan apa yang baru dia ketahui. Terkadang dia bahagia akan hal itu, terkadang dia muak. Dia semakin banyak merenung. Memikirkan semua-semua itu, sendiri.
Kini, Dia, seseorang-yang-lahir-belakangan itu, bertemu dengan warna lain bernama 'pilihan'. Warna itu begitu terang dan berani. Dia mengenal warna itu dari rekaman sejarah, kata-kata, yang ditulis oleh seseorang-yang-lahir-lebih-dulu darinya. Dia mempelajarinya. Warna-warna yang lain juga muncul dari sana. Warna-warna yang baru dia sadari, sama seperti yang dia temui di dunianya.
Renungannya tertuju pada satu 'pilihan' yang hanya bisa diandaikan. "Kalau bisa memilih, aku ingin tetap menjadi putih, yang tak kenal warna pelangi", kata hatinya.
Dia mungkin sudah muak yang dosisnya berubah menjadi mual mau muntah. Kalau bisa memilih, dia ingin tetap tak tahu apa-apa. Dia ingin tetap tak bertemu warna lain selain putih. Atau bahkan, dia ingin dan lebih memilih untuk tak pernah dilahirkan. Tak pernah dilahirkan. Lebih dulu, maupun belakangan.
Agar dia tak bertemu warna-warni yang membuatnya bimbang. Menjatuhbangunkannya antara sedih dan bahagia. Mengombang-ambingkan jiwanya yang tak tahu apa-apa--sebelumnya. Tapi pada siapa dia mengadu?
Dia lalu mengambil lembaran kertas dan sebuah pena. Alat baru yang menemaninya selama ini. Dia mulai mengikuti jejak yang-lahir-lebih-dulu. Dia menumpahkan semuanya. Menodai baris demi baris dihadapnya.
Andai.. Andai.. Warna Putih.. Tetap Putih.. Bahagia.. Cinta.. Dunia.. Sedih.. Putih..
Ada beberapa kata itu di lembarnya. Beberapa kata yang sering dia ulangi. Pada siapa lagi dia mengadu?
Di tengah tarian penanya dia tersadar. "Tapi kenapa yang-lebih-dulu itu bisa serupa denganku?"
Ada yang belum dia ketahui, Dunia itu luas, dan selalu berputar.
Komentar
Posting Komentar