Batin
Gelap.. sepi.. dingin.. dan aku sendiri.
Bukankah seharusnya aku menyukainya? Menyukai kesempatan itu. Tapi kali ini tidak. Aku ketakutan.
Hanya tersisa ragaku disana. Batinku sudah melayang jauh mencari peraduan. Semua yang aku takutkan adalah aku tak bisa melihatnya lagi. Aku, seorang pengandai dan pemimpi, dan yang terburuk, pengagum. Kisah macam apa yang patut dibanggakan dari seorang pengagum? Tidak ada. Aku hanya akan selalu menyendiri, mencari tempat sepi, menunggang khayalan tingkat tinggi, seperti itu. Setiap ingat bahwa aku (masih) menjadi penggemar setianya. Semua tahu itu bukan waktu yang sebentar. Semua mengingatkan untuk menghindar. Tapi dimanakah tempat untuk memenjarakan perasaan?
Kali ini gelap yang kutemui sangatlah menyeramkan. Aku ingin lari, tapi aku harus berhenti. Lari tak akan menghapuskannya. Namun, berhenti mungkin mempu meredam. Aku harus memaksakan otakku memutar ulang semua memory selama bersamanya. Aku harus rela kesakitan menahan hampa yang diciptakan dari semua harapan-harapan darinya. Aku menangis diatas semua senyum yang pernah tercipta. Ini adalah sebuah kengerian yang besar. Dia ada disana, tergambar dengan jelas.
Lalu apa yang kulakukan pada saat itu? Aku memandang lurus kedepan. Mengandalkan semua keahlian imaji ku, untuk sekali lagi melihatnya. Apakah itu benar-benar dirinya? Ya, itu memang dia. Tetap dengan indahnya dan kesederhanaanya. Berusaha memalingkan pandangan dariku. Apakah itu dia? Aku bahkan tak percaya dengan batinku sendiri. Kurasa ada yang salah, kurasa semuanya semakin berbeda. Ah tidak, mungkin hanya perasaanku saja. Tapi aku memang pantas untuk takut. Sebab bisa saja ini adalah pertemuan terakhirku dengannya. Dunia semakin gila. Dia tahu, aku juga tahu itu. Aku serbasalah. Tidak kuat aku membohongi diriku, disamping tidak kuat juga aku terus bungkam memendamnya. Pilihannya, aku pergi selamanya, atau bertahan sekuatnya.
Bagaimana kalau memang dia sudah tahu? Dia begitu kejam. Terus saja dia menyiksaku dengan datang-hilang-nya. Tanpa ucapan "apa kabar" atau "aku harus pergi". Aku bukanlah sebuah tempat singgah yang adakalanya sangat dibutuhkan, juga dengan mudah ditinggalkan. Aku manusia, hidup, dan punya hati. Aku harus terus mencari duniaku tanpa bayang-bayang dirinya yang selalu bisa begitu manis menyentuh bagian paling sensitifku, perasaan ini. Jadi aku saja yang sebaiknya pergi?
Sebuah kesedihan adalah; betapapun aku menghindar, dia tetap berdiri disana. Aku harus membunuh batinku sendiri. Biarkan nantinya dia yang akan mencari tanpa kutemui. Biarkan dia tahu kepalsuan yang kututupi selama ini saat berada dekat dengannya. Aku harus pergi.
11.11 malam. Ruangan ini semakin terlihat sempit penuh angan. Aku ketakutan.
Bukankah seharusnya aku menyukainya? Menyukai kesempatan itu. Tapi kali ini tidak. Aku ketakutan.
Hanya tersisa ragaku disana. Batinku sudah melayang jauh mencari peraduan. Semua yang aku takutkan adalah aku tak bisa melihatnya lagi. Aku, seorang pengandai dan pemimpi, dan yang terburuk, pengagum. Kisah macam apa yang patut dibanggakan dari seorang pengagum? Tidak ada. Aku hanya akan selalu menyendiri, mencari tempat sepi, menunggang khayalan tingkat tinggi, seperti itu. Setiap ingat bahwa aku (masih) menjadi penggemar setianya. Semua tahu itu bukan waktu yang sebentar. Semua mengingatkan untuk menghindar. Tapi dimanakah tempat untuk memenjarakan perasaan?
Kali ini gelap yang kutemui sangatlah menyeramkan. Aku ingin lari, tapi aku harus berhenti. Lari tak akan menghapuskannya. Namun, berhenti mungkin mempu meredam. Aku harus memaksakan otakku memutar ulang semua memory selama bersamanya. Aku harus rela kesakitan menahan hampa yang diciptakan dari semua harapan-harapan darinya. Aku menangis diatas semua senyum yang pernah tercipta. Ini adalah sebuah kengerian yang besar. Dia ada disana, tergambar dengan jelas.
Lalu apa yang kulakukan pada saat itu? Aku memandang lurus kedepan. Mengandalkan semua keahlian imaji ku, untuk sekali lagi melihatnya. Apakah itu benar-benar dirinya? Ya, itu memang dia. Tetap dengan indahnya dan kesederhanaanya. Berusaha memalingkan pandangan dariku. Apakah itu dia? Aku bahkan tak percaya dengan batinku sendiri. Kurasa ada yang salah, kurasa semuanya semakin berbeda. Ah tidak, mungkin hanya perasaanku saja. Tapi aku memang pantas untuk takut. Sebab bisa saja ini adalah pertemuan terakhirku dengannya. Dunia semakin gila. Dia tahu, aku juga tahu itu. Aku serbasalah. Tidak kuat aku membohongi diriku, disamping tidak kuat juga aku terus bungkam memendamnya. Pilihannya, aku pergi selamanya, atau bertahan sekuatnya.
Bagaimana kalau memang dia sudah tahu? Dia begitu kejam. Terus saja dia menyiksaku dengan datang-hilang-nya. Tanpa ucapan "apa kabar" atau "aku harus pergi". Aku bukanlah sebuah tempat singgah yang adakalanya sangat dibutuhkan, juga dengan mudah ditinggalkan. Aku manusia, hidup, dan punya hati. Aku harus terus mencari duniaku tanpa bayang-bayang dirinya yang selalu bisa begitu manis menyentuh bagian paling sensitifku, perasaan ini. Jadi aku saja yang sebaiknya pergi?
Sebuah kesedihan adalah; betapapun aku menghindar, dia tetap berdiri disana. Aku harus membunuh batinku sendiri. Biarkan nantinya dia yang akan mencari tanpa kutemui. Biarkan dia tahu kepalsuan yang kututupi selama ini saat berada dekat dengannya. Aku harus pergi.
11.11 malam. Ruangan ini semakin terlihat sempit penuh angan. Aku ketakutan.
Komentar
Posting Komentar